Oleh KH Muinuddinillah*
Allah berfirman, ” Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Saya sering mendapat pertanyaan tentang letak masalah antara janji Allah dan realitas lapangan. Allah mengatakan bahwa puasa membawa kepada takwa, takwa membawa kepada kesalehan individual dan perbaikan sosial.
Bulan Ramadan yang akan kita sambut kedatangannya sepekan lagi, tiap tahun disambut dengan antusias dengan segala ritual yang berkaitan dengannya. Tetapi sering terasa gegap gempita hanya terbatas pada ritualnya. Sementara output puasa di sisi kesalehan sosial yang terjaga pasca-Ramadan masih kurang.
Berangkat dari iman, bahwa Allah benar janjinya. Ayat Allah menggunakan kata agar kalian bertakwa, artinya tujuan puasa adalah supaya menjadi bertakwa. Dari data historis puasa pernah punya andil besar dalam mencetak orang orang yang sangat sensitif dengan dosa, maka ia menghindarinya, bahagia bisa melaksanakan kebaikan maka ia istikomah dalam melakukannya.
Alangkah indahnya kalau ibadah puasa yang dari dhahir menahan diri dari keinginan tetapi terasa nikmat ketika melaksanaaanya, bahkan dirindukan kehadirannya. Dan lebih indah lagi kalau ibadah puasa menciptakan keshalehan sosial yang mengkodisikan lingkungan yang damai, mesra, penuh kepedulian terhadap sesama, suci dari penyembahan terhadap nafsu.
Ibadah puasa terasa membahagiakan, manakala dipandang sebagai sarana untuk mendapatkan ekistensi diri, bahwa manusia sebagai hamba Allah adalah merdeka dari perbudakan hawa nafsu, nafsu adalah sarana, maka orang yang berhasil menundukkan nafsunya, berhasil memimpin dirinya, berhasil menang dalam membuktikan bahwa tarikan ridha Allah lebih kuat dan diutamakan dari menuruti nafsu, berhasil menggunakan logika bahwa meninggalkan kenikmatan dalam makan dan minum dan seksual sebentar selama berpuasa untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi.
Menahan untuk tidak menyentuh kenikmatan sebentar, demi menghindari kecelakaan abadi, merupakan modal kecerdasan dalam memilih yang terbaik. Ibadah puasa bukan untuk menyiksa diri, tapi pendidikan untuk pandai memilih, pandai memimpin diri, disiplin aturan.
Orang yang berhasil dalam puasa, akan mudah beramal shaleh, mudah meninggalkan segala kemaksiatan, sebagaimana dia meninggalakan kenikmatan makan dan minum selama berpuasa karena ridha Allah. Mudah baginya meninggalkan Narkoba, zina, korupsi, untuk menggapai ridha Allah, sebagaimana ia tidak berani menyentuh hal yang tadinya halal tapi diharamkan karena puasa. Supaya terhindar dari neraka, maka ia akan menghindar dari segala kenikmatan maksiat yang membawa kecelakaan abadi di neraka.
Orang yang berhasil puasa, merasa bahwa pemenuhan kebutuhan biologis sudah tidak menjadi prioritas utama, sebab ada kebutuhan yang lebih besar yaitu aktualitas diri, dekat dengan Allah, memahami orientasi hidup dengan banyak membaca dan menelaah Alquran, memikirkan kebutuhan orang yang serba kekurangan. Inilah yang kita dapatkan kenapa Allah menegaskan orientasi puasa, ”barang siapa yang berpuasa dengan dasar iman dan mengharapkan pahala dari Allah, diampuni dosa yang telah lalu.
”Hadis-hadis lain mengatakan, ”tidak henti hentinya seorang hamba dalam kebaikan selama segera berbuka dan mengakhirkan sahur.”
Sementara mengenai kepeduli dengan lingkungan hikmah puasa tergambar dalam hadis, ”barang siapa memberikan buka puasa walaupun dengan satu teguk susu, ia mendapatkan pahala seperti puasanya tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa.”
Hadis mengenai puasa dan mengkhususkan waktu untuk lebih konsentrsi kepada manhaj Allah dalam lantunan Al-Qur’an yang panjang dalam Qiyamullail, ”barang siapa yang melakukan qiyamullail di bulan Ramadan penuh dengan iman dan harapan kepada Allah diampuni dosa dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari).
Semoga Allah mempertemukan kita dengan Ramadan dengan penuh kegembiraan, mengisi bulan Ramadan dengan aktivitas training intensif pengemblengan iman dengan madrasah rabbaniyah, sehingga melepaskan Ramadan dengan kegembiraan kemenangan takwa dan terampuni dosa.
Allahumma ahilla ‘alaina Ramadhan bil yumni wal iman, wa a’inna ‘ala ‘ibadatika iimaanan wahtisaaban, fa tatafadhalta ‘alaina bil ghufraan wal ‘itqi mina niiran.
*) Penulis adalah Direktur Ponpes Assalaam, Sukoharjo
sumber Cahaya Arka
Allah berfirman, ” Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Saya sering mendapat pertanyaan tentang letak masalah antara janji Allah dan realitas lapangan. Allah mengatakan bahwa puasa membawa kepada takwa, takwa membawa kepada kesalehan individual dan perbaikan sosial.
Bulan Ramadan yang akan kita sambut kedatangannya sepekan lagi, tiap tahun disambut dengan antusias dengan segala ritual yang berkaitan dengannya. Tetapi sering terasa gegap gempita hanya terbatas pada ritualnya. Sementara output puasa di sisi kesalehan sosial yang terjaga pasca-Ramadan masih kurang.
Berangkat dari iman, bahwa Allah benar janjinya. Ayat Allah menggunakan kata agar kalian bertakwa, artinya tujuan puasa adalah supaya menjadi bertakwa. Dari data historis puasa pernah punya andil besar dalam mencetak orang orang yang sangat sensitif dengan dosa, maka ia menghindarinya, bahagia bisa melaksanakan kebaikan maka ia istikomah dalam melakukannya.
Alangkah indahnya kalau ibadah puasa yang dari dhahir menahan diri dari keinginan tetapi terasa nikmat ketika melaksanaaanya, bahkan dirindukan kehadirannya. Dan lebih indah lagi kalau ibadah puasa menciptakan keshalehan sosial yang mengkodisikan lingkungan yang damai, mesra, penuh kepedulian terhadap sesama, suci dari penyembahan terhadap nafsu.
Ibadah puasa terasa membahagiakan, manakala dipandang sebagai sarana untuk mendapatkan ekistensi diri, bahwa manusia sebagai hamba Allah adalah merdeka dari perbudakan hawa nafsu, nafsu adalah sarana, maka orang yang berhasil menundukkan nafsunya, berhasil memimpin dirinya, berhasil menang dalam membuktikan bahwa tarikan ridha Allah lebih kuat dan diutamakan dari menuruti nafsu, berhasil menggunakan logika bahwa meninggalkan kenikmatan dalam makan dan minum dan seksual sebentar selama berpuasa untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi.
Menahan untuk tidak menyentuh kenikmatan sebentar, demi menghindari kecelakaan abadi, merupakan modal kecerdasan dalam memilih yang terbaik. Ibadah puasa bukan untuk menyiksa diri, tapi pendidikan untuk pandai memilih, pandai memimpin diri, disiplin aturan.
Orang yang berhasil dalam puasa, akan mudah beramal shaleh, mudah meninggalkan segala kemaksiatan, sebagaimana dia meninggalakan kenikmatan makan dan minum selama berpuasa karena ridha Allah. Mudah baginya meninggalkan Narkoba, zina, korupsi, untuk menggapai ridha Allah, sebagaimana ia tidak berani menyentuh hal yang tadinya halal tapi diharamkan karena puasa. Supaya terhindar dari neraka, maka ia akan menghindar dari segala kenikmatan maksiat yang membawa kecelakaan abadi di neraka.
Orang yang berhasil puasa, merasa bahwa pemenuhan kebutuhan biologis sudah tidak menjadi prioritas utama, sebab ada kebutuhan yang lebih besar yaitu aktualitas diri, dekat dengan Allah, memahami orientasi hidup dengan banyak membaca dan menelaah Alquran, memikirkan kebutuhan orang yang serba kekurangan. Inilah yang kita dapatkan kenapa Allah menegaskan orientasi puasa, ”barang siapa yang berpuasa dengan dasar iman dan mengharapkan pahala dari Allah, diampuni dosa yang telah lalu.
”Hadis-hadis lain mengatakan, ”tidak henti hentinya seorang hamba dalam kebaikan selama segera berbuka dan mengakhirkan sahur.”
Sementara mengenai kepeduli dengan lingkungan hikmah puasa tergambar dalam hadis, ”barang siapa memberikan buka puasa walaupun dengan satu teguk susu, ia mendapatkan pahala seperti puasanya tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa.”
Hadis mengenai puasa dan mengkhususkan waktu untuk lebih konsentrsi kepada manhaj Allah dalam lantunan Al-Qur’an yang panjang dalam Qiyamullail, ”barang siapa yang melakukan qiyamullail di bulan Ramadan penuh dengan iman dan harapan kepada Allah diampuni dosa dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari).
Semoga Allah mempertemukan kita dengan Ramadan dengan penuh kegembiraan, mengisi bulan Ramadan dengan aktivitas training intensif pengemblengan iman dengan madrasah rabbaniyah, sehingga melepaskan Ramadan dengan kegembiraan kemenangan takwa dan terampuni dosa.
Allahumma ahilla ‘alaina Ramadhan bil yumni wal iman, wa a’inna ‘ala ‘ibadatika iimaanan wahtisaaban, fa tatafadhalta ‘alaina bil ghufraan wal ‘itqi mina niiran.
*) Penulis adalah Direktur Ponpes Assalaam, Sukoharjo
sumber Cahaya Arka
No comments:
Post a Comment