Wednesday, March 7, 2007

Menggali Cinta Dengan Puasa

Oleh Irsal Murad*

Ternyata bukan hanya umat Muhammad yang berpuasa. Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Muhammad, umat Nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan, nabi Adam alaihissalam diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu. “Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim”. (Al-Baqarah: 35).

Begitu pula nabi Musa bersama kaumnya berpuasa empat puluh hari. Nabi Isa pun berpuasa. Dalam Surah Maryam dinyatakan Nabi Zakaria dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi Daud alaihissalam sehari berpuasa dan sehari berbuka pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad saw. Sendiri sebelum diangkat menjadi Rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Malah masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura.

Begitu pula, binatang dan tumbuh-tumbuhan melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga.
Jika berpuasa merupakan sunnah thobi’iyyah (sunnah kehidupan) sebagai langkah untuk tetap survive, mengapa manusia tidak? Terlebih lagi jika kewajiban puasa diembankan kepada umat Islam, tentu saja memikili makna filosofis dan hikmah tersendiri.

Karena, ternyata puasa bukan hanya menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan merefleksikan diri untuk turut hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepa selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan. Rahasia-rahasia tersebut ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat 183 surah al-Baqarah. Allah swt memerintahkan: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 183).

Allah swt mengakhiri ayat tersebut dengan “agar kalian bertakwa”. Syekh Musthafa Shodiq al-Rafi’ie (w. 1356 H/1937 M) dalam bukunya wahy al-Qalam mentakwil kata “takwa” dengan ittiqa, yakni memproteksi diri dari segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama, dan menjaga humanisme dan kodrat manusia dari perilaku layaknya binatang. Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk yang merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang atau nanti. Generasi kini atau esok.

Mazhab sosialisme yang mengalami masa kolapnya di Eropa, tak mampu mengubah, menambah dan mengurangi jatah perut pengikutnya. Mereka, para sosialisme yang dianggap sebagai “mazhab buku” tak pelak lagi memandang puasa sebagai “satu-satunya sistem sosialis yang paling unik dan justeru paling benar”! Bagaimana tidak, puasa adalah kefakiran secara ‘paksa’ yang ditentukan oleh syariat agama kepada seluruh umat (Islam) tanpa pandang bulu. Islam memandang sama derajat manusia, terutama soal “perut”. Mereka yang memiliki dolar, atau yang mempunyai sedikit rupiah, atau orang yang tak memiliki sepeserpun, tetap merasakan hal yang sama: lapar dan haus. Jika sholat mampu menghapus citra arogansi individual manusia diwajibkan bagi insan muslim, haji dapat mengikis perbedaan status sosial dan derajat umat manusia diwajibkan bagi yang mampu, maka puasa adalah kefakiran total insan bertakwa yang bertujuan mengetuk sensitifitas manusia dengan metode amaliah (praktis), bahwasanya kehidupan yang benar berada di balik kehidupan itu sendiri. Dan kehidupan itu mencapai suatu tahap paripurna manakala manusia memiliki kesamaan rasa, atau manusia “turut merasakan” bersama, bukan sebaliknya. Manusia mencapai derajat kesempurnaan (insan kamil) tatkala turut merasakan sensitifitas satu rasa sakit, bukan turut berebut melampiaskan segala macam hawa nafsu.

Dari sini puasa memiliki multifungsi. Setidaknya ada tiga fungsi puasa: tazhib, ta’dib dan tadrib. Puasa adalah sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa (ta’dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa: takwa. Takwa dalam pengertian yang lebih umum adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Takwa dan kesalehan sosial adalah dua wajah dari satu keping mata uang yang sama, mengintegral dan tak dapat dipisahkan.

Ada sejenis kaidah jiwa, bahwasanya “cinta” timbul dari rasa sakit. Di sinilah letak rahasia besar sosial dari hikmah berpuasa. Dengan jelas dan akurat, Islam melarang keras segala bentuk makanan, minuman, aktivitas seks, penyakit hati dan ucapan merasuki perut dan jiwa orang yang berpuasa. Dari lapar dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau terbakar terik matahari di siang hari. Ini adalah suatu sistem, cara praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia. Adakah cara yang paling efektif untuk melatih cinta? Bukankah kita tahu bahwa selalu ada dua sistem yang saling terkait: yang melihat dan yang buta, yang cendikia dan yang awam, serta yang teratur dan yang mengejutkan.

Jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan kekuasaannya sebagai “sang mesias”, juru selamat. Orang yang berpunya dan hatinya selalu diasah dengan puasa, maka telinga jiwanya mendengar suara sang fakir yang merintih. Ia tidak serta merta mendengar itu sebagai suara mohon pengharapan, melainkan permohonan akan sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh dan direspon akan makna tangisannya itu. Orang berpunya akan memaknai itu semua atas pengabdian yang tulus, iimaanan wa ihtisaaban. Semua karena Allah, karena hanya Dia Sang pemilik segala.

* Penulis adalah Dewan Eksekutif Sanggar Kinanah, sedang menekuni filsafat di al-Azhar University, Kairo.

sumber Irsal Murad Blog

Puasa Kaum Dhuafa

Menarik sekali kalau kita perhatikan realitas kaum dhuafa yang terus teguh menjalankan ibadah puasa. Padahal, mempunyai problem sosial-ekonomi yang berimplikasi bukan saja pada status hukumnya, tapi juga motifasi spiritual bagi dirinya. Kaum berpunya relatif kecil resiko sosial-ekonominya sehingga hukum wajibnya pun tidak bisa ditawar lagi. Plus melatih diri untuk merengguh kesalehan sosial dan keselehan individual (ahsanu taqwin) yang menjadi tujuan ibadah puasa itu sendiri.

Berbeda dengan kaum dhuafa yang rata-rata berfrofesi pekerja berat (kuli bangunan, tukang becak, kuli pelabuhan dll) yang kontras dengan ibadah puasa. Dengan menahan diri untuk tidak makan dan minum sehari penuh, lebih dari cukup untuk menghambat penghasilan mereka. Memang belum ada penelitian yang memadai untuk memotret keluh kesah kaum dhuafa dalam melaksanakan ibadah puasanya.

Namun, Sudirman Teba (Sosiologi Hukum Islam, 2003) pernah melakukan survei pada beberapa tukang beca dan tukang ojek di Jakarta tentang puasa mereka. Sebagian besar menyatakan pada awal ramadhan mereka menjalan puasa, tetapi menjelang pertengahan mereka merasa tidak mampu lagi meneruskan puasanya. Lebih lanjut Sudirman, ditemukan sejumlah kecil dari mereka yang tetap melaksanakan ibadah puasanya. Dari wajah mereka terlihat sinar iman dan semangat puasa yang teguh, tapi dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Wajah mereka memperlihatkan tanda-tanda pucat dan mulutnya berbusa-busa.

Perintah puasa bagi mereka seperti dalam QS Al-Baqarah 2;183, ditujukan untuk menjadikan diri takwa. Sebagai medium mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka pun sadar itu sangat sulit dan terkadang menyulitkan orangg lain. Implikasi HukumHanya saja, QS Al-Baqarah 2:183 yang berisi perintah puasa, belum mereka pahami mengandung pengecualian bagi yang berat untuk melakukannya atau tidak sanggup untuk menjalankannya.

Dalam ayat itu kebolehan tidak berpuasa itu dipadatkan dalam kalimat yuthîkunahu.Ada sebagian ulama yang memberi arti orang yang sudah lanjut usia dan orang sakit dalam waktu yang lama sehingga tidak mampu melakukan puasa. Ibnu Abbas seperti dituturkan oleh Muhammad Ali al-Shabuni, tidak membatasi hanya pada orang lanjut usia dan orang sakit, tapi siapa saja yang berat menjalankan puasa boleh meninggalkannya, namun diharuskan membayar fidyah, yaitu memberi makan kapada orang miskin dan meng-qada; (mengganti) puasa bagi orang sakit ketika sembuh di luar ramadhan.

Dari pendapat Ibnu Abbas itu, kaum dhuafa mempunyai alasan hukum (illat) untuk tidak melakukan ibadah puasa. Karena dalam ushul fiqh terdapat teori yang mengatakan ‘al-hukmu yadûru ma’a al-illah wujudan wa ‘adaman’; hukum itu terkait erat dengan alasan hukum, wajib atau tidak. QS al-Baqarah 2:185 yang masih berbicara tentang puasa, dinyatakan; ‘Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu’.

Memang dalam kitab-kitab fikih tidak ditemukan istilah kaum dhuafa seperti yang dituturkan di atas tadi. Hamat saya, kodifikasi fikih pada masa lampau belum berbeda realitas sosial-ekonomi dengan yang sekarang. Analogi kriteria kaum dhuafa, sepertinya menjadi pintu awal untuk menemukan hukum baru bagi kaum dhuafa mengenai puasa.

Secara sosiologis bisa dianalisis dari pendapat Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah yang menuturkan bahwa perubahan hukum itu terkait erat dengan waktu (azminah), tempat (amkinah) keadaan sosial-ekonomi (ahwal) dan motifasi subjek hukum (niyyah). Waktu itu, Ibn Qoyyim terinspirasi oleh perubahan sosial di daerah Andalusi yang dikenal sebagai wilayah yang mempunyai tingkat respektasi perubahan sosial, karena imperium islam meluas ke wilayah Eropa yang berbeda dengan konteks para ulama-ulama sebelumnya.

Dalam konteks ini, pengambilan hukum dari sekian penemuan alasan hukum yang muncul karena perubahan sosial, menjadi sangat relefan. Kaum dhuafa yang notabene tidak cukup memadai untuk menjalankan puasa harus diberikan konklusi hukum yang kritis-argumentatif. Implikasi hukumnya, sebagian sampel dari penelitian Sudirman itu merupakan komunitas yang boleh meninggalkan ibadah puasanya.

Akan tetapi, pandangan ini sangat kondisional mengingat ukuran mampu dan tidaknya kaum dhuafa untuk berpuasa. Kemampuan ini jelas mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ini menjadi penting, kerana kriteria kaum dhufa yang sementara ini ada beragam. Ukurannya bisa dilihat dari resiko pekerjaannya (berat dan ringan), sehingga kondisi fisiknya juga berbeda.Kaum dhuafa yang terbiasa ‘puasa’ karena secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya telah lemah atau dipaksa lemah mempunyai kriteria yang paling memungkinkan.

Bagaimana mungkin mereka menjalankan puasa dengan kadar kalori sedikit, karena makan dan minum sehari-harinya saja kurang dari memadai.Selanjutnya bagaimana kewajiban membayar fidyah, kalau saja mereka boleh meningglkan puasa.

Hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim tentang pria yang mengaku melakukan hubungan badan dengan istrinya di bulan ramadhan. Nabi bertanya: “Apakah kamu sanggup memerdekakan budah?”. “Tidak” jawabnya. “Apakah kamu kuat berpuasa dua bulan berturut-turut?”, tanya Nabi. “Tidak” imbuhnya. “Apakah kamu mempunyai makan untuk diberikan kepada 60 orang miskin?” masih ditanya nabi. “Tidak”, jawabnya. Kemudian Nabi memberi korma kepeda pria tadi sambil berucap: “Sedekahkan korma ini”. “Kepada siapa disedekahkan?, Kepada yang lebih miskin dari saya?, Demi Allah, tidak ada orang di kampung ini yang lebih membutuhkan makanan ini kecuali keluarga saya”.

Maka Nabi tertawa dan berkata: “Pulanglah dan berikan korma itu kepada keluargamu”. Dialog di atas, gambaran tidak wajibnya mengeluarkan fidyah bagi kaum dhuafa yang boleh meninggalkan puasanya itu. Meski demikian, bukan berarti tidak puasa sama sekali. Mereka tetap dituntut untuk berpuasa non fisik dengan melatih diri untuk menjaga anggota tubuh dari perbuatan dosa. Bukankan mengendalikan diri untuk tidak berbuat dosa merupakan inti puasa untuk menggapai kwalitas ketaqwaan dalam bepuasa?.Hikmah PuasaSebenarnya makna strategis puasa yakni pengendalian diri, ditujukan bagi semua kelas sosial.

Tapi sepertinya, pembahasan hikmah puasa lebih diarahkan bagi kelas sosial yang berkecukupuna. Misalnya dikatakan dengan menahan makan dan minum, orang terlatih untuk memantapkan jiwa, mengendorkan organ tubuh yang biasa mengkonsumi makanan dan untuk bisa merasakan penderitaan orang yang terpaksa ’puasa’ setipa hari, seperti yang dialami oleh kaum dhuafa. Hikmah semacam ini jelas diadreskan pada kaum berkecukupan yang diintrogesi oleh egoisme duniwai setiap harinya.

Bagi kaum dhuafa, hikmah itu tidak lagi relefan karena mereka belum tentu mendapatkan makan minum setiap harinya. Mereka terbiaa menahan makan dan minum setiap harinya. Sehingga menahan diri dari makan dan minum bukan lagi sebagai latihan, tetapi tuntuan keadaan; suka atau tidak suka harus mereka terima.Kaum dhuafa yang oleh Farid Essak dilukiskan sebagai kaum yang tertindas secara sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Sikap mereka yang tenang menghadapi kesulitan hidup bukan karena sabar, tetapi karena mereka menerima kemiskinan sebagai keniscayaan hidup yang tidak bisa ditolak, Tragisnya, mereka belum tentu sadar bahwa posisi mereka telah ditindas oleh struktur sosial yang ada di lingkungannya dan tidak mampu untuk meruntuhkannya.

Barangkali hikmah puasa bagi kaum dhuafa adalah menjelaskan bahwa penderitaan itu bukan suatu keniscayaan hidup yang harus diterima. Karenanya bisa ditanamkan kesadaran kepada mereka tentang harapan masa depan dan hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak atas nama kemanusiaan universal yang dijamin oleh konstitusi kita.Penjelasan hikmah puasa yang diadreskan pada kaum berkecukupan tanpa transformasi pentingnya penderitaan kaum dhuafa nampaknya akan sia-sia.

Puasa tidak lebih dari dogma yang meretas dalam kesalehan individual yang kering dari kosakatan kepedulian sosial. Padahal ditegaskan dalam QS Al-Maûn 107:3, bahwa keengganan memberi kepada kaum dhuafa merupakan satu indikasi mendustakan agama. Walhasil, kaum dhuafa yang telah biasa ’berpuasa’ setiap harinya dalam bebarapa kondisi dapat meninggalkan puasa ramadhan. Dan kaum berpunya hendaknya mempunyai komitmen untuk membebaskan belenggu yang melilit kaum dhuafa.

Dengan kepedulian sosial, hikmah puasa sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk membebaskan beban derita kaum dhuafa, sehingga mereka diwajibkan berpuasa karena karena kondisi sosial-ekonomi yang memungkinkan bukan dengan beban hidup yang sulit mereka tanggulangi.

Sumber Tersenyum Karena Berbagi

Menimbang Arti Kesalehan dalam Islam

Oleh KH A. Mustofa Bisri*

Akhir-akhir ini sering kita mendengar dari kalangan kaum Muslim, sementara orang yang mempersoalkan secara dikotomis tentang kesalehan. Seolah-olah dalam Islam memang ada dua macam kesalehan: “kesalehan ritual” dan “kesalehan sosial”.

Dengan “kesalehan ritual” mereka menunjuk perilaku kelompok orang yang hanya mementingkan ibadat mahdlah, ibadat yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Kelompok yang sangat tekun melakukan sholat, puasa, dan seterusnya; namun tidak peduli akan keadaan sekelilingnya.

Dengan ungkapan lain, hanya mementingkan hablum minallah.Sedangkan yang mereka maksud dengan “kesalehan sosial” adalah perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial. Suka memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya; meskipun orang-orang ini tidak setekun kelompok pertama dalam melakukan ibadat seperti sembayang dan sebagainya itu. Lebih mementingkan hablun minan naas.

Boleh jadi hal itu memang bermula dari fenomena kehidupan beragama kaum Muslim itu sendiri, dimana memang sering kita jumpai sekelompok orang yang tekun beribadat, bahkan berkali-kali haji misalnya, namun kelihatan sangat bebal terhadap kepentingan masyarakat umum, tak tergerak melihat saudara-saudaranya yang lemah tertindas, misalnya.

Seolah-olah Islam hanya mengajarkan orang untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya menjadi hak Allah belaka. Sebaliknya juga, sering dijumpai orang-orang Islam yang sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, sangat memperhatikan hak sesamanya, kelihatan begitu mengabaikan “ibadat pribadinya”.

Padahal semuanya tahu tentang hablun minallah dan hablun minannas. Semuanya membaca ayat, “Udkhuluu fis silmi kaffah !” tahu bahwa kesalehan dalam Islam secara total !” Masak mereka ini tidak tahu bahwa kesalehan Islam pun mesti komplit, meliputi kedua kesalehan itu.Dan bagi mereka yang memperhatikan bagaimana Nabi Muhammad saw.

Berpuasa,dan saat beliau memberi petunjuk bagaimana seharusnya orang melaksanakan puasa yang baik, niscaya tak akan ragu-ragu lagi akan ajaran yang memperlihatkan kedua aspek tersebut sekaligus. Dengan kata lain, takwa yang menjadi sasaran puasa kaum Muslim, sebenarnya berarti kesalehan total yang mencakup “kesalehan ritual” dan “kesalehan sosial”. Kecenderungan perhatian sesorang terhadap salah satunya, tidak boleh mengabaikan orang lain.

* KH Mustofa Bisri (Gus Mus) adalah Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin dan salah satu Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

sumber Cah NU

Kesalehan Komunitas, Solusi Problematika Sosial

Oleh: Efri S. Bahri

Setiap manusia terlahir suci dan bersih. Masa pertumbuhannya (tumbuh kembang) akan dipengaruhi oleh lingkungannya baik internal maupun eksternal. Lingkungan internal mencakup kedua orang tua dan anggota keluarga lainnya.

Sedangkan lingkungan eksternal mencakup masyarakat secara umum. Disamping itu, lingkungan eksternal juga mencakup lingkungan pendidikan formal.

Seorang anak yang tadinya sucu dan bersih, akan tetap terjaga kesucian dan kebersihannya apabila didukung oleh pondasi dan kekuatan aqidah. Pondasi dan kekuatan aqidah anak, insya Allah, akan kuat bila ditanam dan dipupuk serta dirawat sejak dini. Sebaliknya, aqidah anak akan menjadi lemah apabila benih aqidahnya tidak ditanam, dipupuk dan dirawat dengan baik. Rasulullah SAW mengingatkan dalam sabdanya, "Setiap anak Adam akan menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi tergantung pada kedua orang tuanya." Apabila kedua orang tuanya, mampu memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya, insya Allah akan meraih kenikmatan atas benih yang telah ditanam, dipupuk, dan dirawatnya itu.

Rasulullah SAW pernah bersabda, "Bila seorang anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal. Shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anal shaleh yang senantiasa mendo'akan kedua orang tuanya." Keshalehan individu dan keluarga, selanjutnya akan menjadi benih guna terwujudnya keshalehan komunitas. Dengan demikian hubungan antar individu, keluarga dan masyarakat menjadi sangat kondusif. Apabila masyarakat sudah ditopang dengan ketiga pilar tersebut (keshalehan individu, keluarga, dan komunitas), insya Allah, problema sosial masyarakat yang selama ini seringkali melingkupi masyarakat, mudah-mudahan tidak terjadi lagi. Kasus-kasus ketergantungan terhadap narkoba yang banyak 'menjangkiti' para pemuda-pemudi bahkan orang tua, akan dapat diminimalisir dengan makin kuatnya benteng keshalehan komunitas. Penjambretan pada angkutan kota juga tidak bakal terjadi bila sinergi antara para sopir, kenek, dan para penumpang berjalan baik. Orangpun tidak akan berani melakukan tindak kriminal bila pertahanan komunitas berjalan baik.

Seringkali, kasus-kasus kriminalitas terjadi disebabkan karena tidak adanya kepedulian antar individu, antar keluarga, dan antar komunitas masyarakat. Sehingga para pelaku tindak kriminal menjadi berani berbuat naif. Padahal, bila individu-individu lainnya peduli, para pelaku akan ketakutan, lari dan jera.

Guna menghadapi persoalan di atas, Allah telah memberikan pedoman dengan menyuruh manusia untuk bekerja. "Dan katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. At-Taubah: 105)

Jadi nyatalah bagi kita bahwa keshalehan individu dan keluarga dengan ditopang kekuatan aqidah dan kerja keras akan melahirkan masyarakat yang aman, tentram, sejahtera, lahir dan bathin.

sumber IRS Indonesia

Kesalehan Pribadi dan Kesalehan Sosial

Fazlur Rahman seorang intelektual muslim pernah menyatakan, seandainya Nabi Muhammad seorang mistikus tentu beliau tidak akan kembali lagi ke bumi pada peristiwa Isra’ Mikraj. Karena pada saat itu beliau bertemu langsung dengan Allah. Dan pertemuan dengan Allah itulah puncak spiritualitas dalam Islam.”Barang siapa mengharap penjumpaan (liqa) dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan amal saleh dan tidak menyekutukanNya.” (QS 18.Al Kahfi: 110). Akan tetapi karena Muhammad adalah seorang pejuang kemanusiaan beliau kembali ke bumi untuk berjuang di tengah-tengah manusia, meskipun perjumpaan itu telah dicapai. Perjumpaan dengan Allah merupakan kenikmaan luar biasa dan berjuang di tengah masyarakat bukanlah hal yang mudah dan menyenangkan. Tetapi nabi lebih memilih itu.

Peristiwa Isra’ dan Mikraj merupakan peristiwa yang sangat monumental bagi kehidupan umat islam. Sebagaimana kita ketahui perintah shalat 5 waktu di perintahkan kepada umat islam pada peristiwa ini. Shalat merupakan satu aktivitas sebagai wujud keimanan pada Allah. Maka dikatakan bahwa Shalat adalah tiang agama, barangsiapa menegakkannya maka dia menegakkan agama dan barangsiapa tidak menegakkannya berarti merubuhkan agama. Tidak hanya itu shalat merupakan satu ibadah yang pertama kali akan dihisab diakhirat kelak. Jika shalat kita baik maka amal ibadah yang lain juga akan baik. Maka dari sini kita bisa menarik satu kesimpulan bahwa kualitas kesalehan pribadi seorang muslim bisa diukur dari sejauh mana kualitas shalatnya. Sehingga demikian penting bagi kita untuk selalu menjaga dan memperbaharui agar shalat kita semakin baik dan semakin khusuk. Shalat yang baik secara umum bisa kita nilai dari banyak aspek antara lain memenuhi syarat dan rukun shalat, dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan istiqamah. Dari aspek kualitatif Nabi SAW menyatakan dalam hadits yang cukup panjang yang intinya dalam beribadah kita harus bersikap ihsan , yaitu sikap dalam beribadah seolah-olah kita melihat Allah dan kalau tidak bisa seperti itu maka kita yakin bahwa Allah melihat kita. Jika tahapan seperti ini sudah bisa kita lalui maka bisa dikatakan secara pribadi kita sudah memiliki kualifikasi kesalehan.

Islam adalah agama yang ditujukan untuk memberikan rahmat bagi semesta alam. Tentunya kesalehan yang bersifat pribadi seperti di atas belumlah cukup. Maka ada kualifikasi lain dari aktivitas shalat yang baik yaitu shalat yang berimbas pada kemampuan mushalli (pelaku shalat) dapat mencegah perbuatan keji dan munkar(Al-Ankabut: 45) . Shalat melatih manusia untuk selalu merasa dalam pengawasan Allah (muroqobah) sehingga dalam kehidupan sehari-hari juga akan merasa diawasi oleh Allah sehingga akan takut untuk melakukan perbuatan kejahatan. Dengan shalat menjadikan manusia merasa bahwa Allah selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada ketakutan selain ketakutan pada Allah, merasa kuat karena merasa Allah melindungi kita. Bahkan Allah sendiri mengecam orang yang melakukan shalat tetapi lupa akan hakekat shalat itu sendiri.“Celakalah orang-orang yang shalat; yaitu orang yang lalai dalam shalatnya dan mereka yang riya (dalam shalatnya) dan enggan menolong dengan barang berguna” (QS. Al Maun 107:5-7). Maka dengan demikian semakin baik shalat seseorang semakin baik pula amal sosialnya, semakin peka terhadap persoalan-persoalan dalam masyarakat. Dengan demikian terdapat keseimbangan antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosialnya. Islam bukanlah agama mistik tetapi agama yang juga menekankan kerja sosial untuk rahmat dan kesejahteraan alam semesta. Wallahua’lam bisshawab.

sumber Tukang Sapu

Kesalehan Sosial, Kesalehan Ritual

oleh Mohammad Sobary*

Ketika dalam Robohnya Surau Kami A.A. Navis memasukkan Haji Saleh (yang yakin bakal masuk sorga itu) ke neraka, sebenarnya ia sedang berbicara tentang suatu corak keagamaan yang tak ia "restui".

Navis sedang menggugat kesalehan ritual: jenis kesalehan yang ukurannya ditentukan berdasarkan seberapa taat seseorang menjalankan salat lima waktu, seberapa panjang zikir-zikir sesudah salat, dan seberapa sering salat sunat ia lakukan.

Pendek kata, kesalehan itu ditentukan berdasarkan ukuran serba legal formal sebagaimana kata ajaran. Dan biasanya, untuk ini ada-ada saja orang yang merasa memiliki otoritas buat menilai kredibilitas moral orang lain. Ia menjadi semacam tim pemeriksa dan penilai keimanan orang lain.

Islam bukan agama individual. Ajaran yang dibawa Gusti Kanjeng Nabi Muhammad itu, dari "atas" memang dirancang buat rahmat bagi semesta alam. Orang yang paling saleh pun dengan demikian tak punya hak monopoli atas agama itu.

Kita tak berhak menentukan tingkat kesalehan tetangga sebelah. Dan tak satu pun di antara kita punya wewenang "mengontrol" ibadah orang lain. Terutama bila hal itu disertai sikap sinis dan cemooh, seperti Haji Saleh dalam Robohnya Surau Kami itu.

Kita tahu Bang Navis orang Minang dan ia sedang bicara tentang situasi kultural Minang. Tapi corak keagamaan itu tak dengan sendirinya cuma milik orang Minang. Di Jawa pun, pada saat yang sama, tiga puluhan tahun yang lalu, ketika perpecahan ideologi kultural kuat mewarnai kehidupan masyarakat, gejala serupa juga menonjol.

Terjadinya polarisasi santri-abangan, sebagaimana dirumuskan Clifford Geertz, adalah produk zaman tersebut. Namun juga tak berarti cuma milik zaman itu. Sekarang pun, setelah tiga puluhan tahun yang berlalu, kecenderungan agamis seperti itu toh masih juga terasa.

Maka pada tahun 1980-an, ketika Gus Dur giat menganjurkan agar kita istirahat sebentar dari kesibukan berdebat tentang batalnya wudlu, untuk khusyuk bersama-sama memikirkan bagaimana kemiskinan umat ditangani, ia seperti memberi jawaban atas persoalan yang merunyamkan A.A. Navis tersebut.

Dengan kata lain, Gus Dur sedang berbicara tentang kesalehan sosial: suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, melainkan juga oleh cucuran keringat dalam praksis hidup keseharian kita. Orang semacam Gus Dur dan mayoritas umat yang miskin tentu saja juga memerlukan penyelamatan sorgawi seperti Haji Saleh itu.

Bedanya, Haji saleh mengesankan sikap hidup egoistis, ingin mencari selamat sendiri, sedangkan Gus Dur tampak altruis, ingin menikmati penyelamatan sorgawi bersama umat. Kalau boleh, mungkin mau masuk sorga dengan sandal kulitnya itu sekaligus. Kecuali itu, Haji Saleh yakin bahwa sorga bisa digapai dengan kesalehan ritual.

Gus Dur melihat bahwa sorga justru (setelah melihat konteks sosio-ekonomis umat yang compang-camping) harus lebih diraih dengan kesalehan sosial. Usahanya "menerobos" pintu Bank Summa untuk melakukan kerja sama ekonomi dengan membuka BPR, misalnya, jelas mempertegas wawasan keagamaannya.

Dalam kitab suci disebutkan bahwa sorga itu ada tingkatan-tingkatannya. Tanpa menodai ajaran, saya sering menafsirkan bahwa rasanya, sekarang pun saya sudah menikmati sebagian kenyamanan sorga itu. Maka, tafsiran saya selanjutnya, sorga bagi rakyat kecil, mayoritas umat yang miskin tentu juga sederhana tingkatannya: yakni sekadar buat pemenuhan kebutuhan jasmani (sandang, pangan, papan). Buat kebutuhan rohani, (membaca salawat buat Kanjeng Nabi, maupun segala puja dan puji kepada Allah) tentu dirasa sebagai kebutuhan luks. Dus, belum merupakan kebutuhan primer.

Tafsiran serupa saya dengar pernah dibuat oleh seorang pastur muda yang arif. Sehabis mengkhotbahi habis-habisan para "domba" yang miskin, ia antar mereka pulang. Di tengah nyala obor, di sepanjang jalan licin dan becek di daerah Malang, terjadilah dialog antara sang pastur dan dan para jemaahnya. Sang pastur kemudian menyimpulkan: saya ini keliru. Kongkret, mereka butuh makan. Tapi saya beri mereka cerita tentang sorga, cinta kasih, dan Tuhan Bapa ...

Pemikiran keagamaan seperti ini ternyata juga bukan monopoli kaum terpelajar, seperti Romo Pastur muda tadi. Di Desa Ciater, Serpong, tempat saya melakukan penelitian tentang hubungan antara agama dan tingkah laku ekonomi, saya temukan seorang haji tua, pedagang kecil, yang beranggapan bahwa kesalehan itu terletak dalam praksis, bukan dalam doa-doa.

Ketika saya tanyakan kepadanya, orang yang bagaimana yang disebut sebagai orang saleh, Haji Asnen bin Haji Thalib itu menjawab: "Orang yang menyeimbangkan ushali dan usaha," katanya. Baginya, kedua hal itu harus diseimbangkan. Namun, jika ia harus memilih, ia akan lebih memilih yang kedua dulu.

"Mengapa?" tanya saya.

"Karena kalau anak-anak lapar, kita harus memberikan jawab kongkret: kasih makan. Dan makan itu kita peroleh dari usaha."

"Doa mah kaga enak dimakan," katanya lagi.

Dengan kata lain, haji dari Betawi ini pun sedang bicara bahwa dalam kondisi tertentu, kesalehan sosial terasa agak lebih, dan karena itu perlu didahulukan dari kesalehan ritual.

Dengan begini, gugatan Navis kini terasa berdengung kembali dan memperoleh lagi relevansinya. Bukan haji kalau ia tak bisa memperkuat argumentasinya dengan contoh kuat. Maka, Haji Asnen pun mengutip sebuah Hadis. Katanya, seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Kanjeng Nabi. "Mengapa ia kau sebut sangat saleh?" tanya Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW. "Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa."

"Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?" tanya Kanjeng Nabi lagi.

"Kakaknya," sahut sahabat tersebut. "Kakaknya itulah yang layak disebut saleh," sahut Kanjeng Nabi lebih lanjut. Sahabat itu diam. Sebuah pengertian baru terbentuk dalam benaknya. Ukuran kesalehan, dengan begitu, menjadi lebih jelas diletakkan pada tindakan nyata. Kesalehan, jadinya, lalu dilihat dampak kongkretnya dalam kehidupan sosial.

Tentu saja, hanya kesalehan sosial yang bisa diukur dengan cara seperti itu. Dalam agama, sebenarnya kedua corak kesalehan itu merupakan wajah sebuah kemestian yang tak usah ditawar. Secara normatif, keduanya haruslah merupakan bagian hidup tiap-tiap hamba.

Kita, pendeknya, selalu diminta tampil ideal. Artinya, secara ritual kita saleh, secara sosial pun kita mestinya saleh juga. Maka, betapa pun pahitnya harus diakui bahwa memang, silang selisih antara mereka yang lebih menggarisbawahi kesalehan ritual dengan mereka yang lebih memilih kesalehan sosial masih bisa terjadi terus-menerus. Ini tak menjadi soal. Sebab, bukankah silang selisih itu sendiri merupakan sebuah dialog untuk mencapai takaran ideal itu juga?

*) adalah penulis buku "Kang Sejo Melihat Tuhan"

sumber Website Of Love

Puasa, antara kelezatan ibadah dan kesalehan sosial

Oleh KH Muinuddinillah*

Allah berfirman, ” Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Saya sering mendapat pertanyaan tentang letak masalah antara janji Allah dan realitas lapangan. Allah mengatakan bahwa puasa membawa kepada takwa, takwa membawa kepada kesalehan individual dan perbaikan sosial.

Bulan Ramadan yang akan kita sambut kedatangannya sepekan lagi, tiap tahun disambut dengan antusias dengan segala ritual yang berkaitan dengannya. Tetapi sering terasa gegap gempita hanya terbatas pada ritualnya. Sementara output puasa di sisi kesalehan sosial yang terjaga pasca-Ramadan masih kurang.

Berangkat dari iman, bahwa Allah benar janjinya. Ayat Allah menggunakan kata agar kalian bertakwa, artinya tujuan puasa adalah supaya menjadi bertakwa. Dari data historis puasa pernah punya andil besar dalam mencetak orang orang yang sangat sensitif dengan dosa, maka ia menghindarinya, bahagia bisa melaksanakan kebaikan maka ia istikomah dalam melakukannya.

Alangkah indahnya kalau ibadah puasa yang dari dhahir menahan diri dari keinginan tetapi terasa nikmat ketika melaksanaaanya, bahkan dirindukan kehadirannya. Dan lebih indah lagi kalau ibadah puasa menciptakan keshalehan sosial yang mengkodisikan lingkungan yang damai, mesra, penuh kepedulian terhadap sesama, suci dari penyembahan terhadap nafsu.

Ibadah puasa terasa membahagiakan, manakala dipandang sebagai sarana untuk mendapatkan ekistensi diri, bahwa manusia sebagai hamba Allah adalah merdeka dari perbudakan hawa nafsu, nafsu adalah sarana, maka orang yang berhasil menundukkan nafsunya, berhasil memimpin dirinya, berhasil menang dalam membuktikan bahwa tarikan ridha Allah lebih kuat dan diutamakan dari menuruti nafsu, berhasil menggunakan logika bahwa meninggalkan kenikmatan dalam makan dan minum dan seksual sebentar selama berpuasa untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi.

Menahan untuk tidak menyentuh kenikmatan sebentar, demi menghindari kecelakaan abadi, merupakan modal kecerdasan dalam memilih yang terbaik. Ibadah puasa bukan untuk menyiksa diri, tapi pendidikan untuk pandai memilih, pandai memimpin diri, disiplin aturan.

Orang yang berhasil dalam puasa, akan mudah beramal shaleh, mudah meninggalkan segala kemaksiatan, sebagaimana dia meninggalakan kenikmatan makan dan minum selama berpuasa karena ridha Allah. Mudah baginya meninggalkan Narkoba, zina, korupsi, untuk menggapai ridha Allah, sebagaimana ia tidak berani menyentuh hal yang tadinya halal tapi diharamkan karena puasa. Supaya terhindar dari neraka, maka ia akan menghindar dari segala kenikmatan maksiat yang membawa kecelakaan abadi di neraka.

Orang yang berhasil puasa, merasa bahwa pemenuhan kebutuhan biologis sudah tidak menjadi prioritas utama, sebab ada kebutuhan yang lebih besar yaitu aktualitas diri, dekat dengan Allah, memahami orientasi hidup dengan banyak membaca dan menelaah Alquran, memikirkan kebutuhan orang yang serba kekurangan. Inilah yang kita dapatkan kenapa Allah menegaskan orientasi puasa, ”barang siapa yang berpuasa dengan dasar iman dan mengharapkan pahala dari Allah, diampuni dosa yang telah lalu.

”Hadis-hadis lain mengatakan, ”tidak henti hentinya seorang hamba dalam kebaikan selama segera berbuka dan mengakhirkan sahur.”

Sementara mengenai kepeduli dengan lingkungan hikmah puasa tergambar dalam hadis, ”barang siapa memberikan buka puasa walaupun dengan satu teguk susu, ia mendapatkan pahala seperti puasanya tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa.”

Hadis mengenai puasa dan mengkhususkan waktu untuk lebih konsentrsi kepada manhaj Allah dalam lantunan Al-Qur’an yang panjang dalam Qiyamullail, ”barang siapa yang melakukan qiyamullail di bulan Ramadan penuh dengan iman dan harapan kepada Allah diampuni dosa dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari).

Semoga Allah mempertemukan kita dengan Ramadan dengan penuh kegembiraan, mengisi bulan Ramadan dengan aktivitas training intensif pengemblengan iman dengan madrasah rabbaniyah, sehingga melepaskan Ramadan dengan kegembiraan kemenangan takwa dan terampuni dosa.

Allahumma ahilla ‘alaina Ramadhan bil yumni wal iman, wa a’inna ‘ala ‘ibadatika iimaanan wahtisaaban, fa tatafadhalta ‘alaina bil ghufraan wal ‘itqi mina niiran.

*) Penulis adalah Direktur Ponpes Assalaam, Sukoharjo

sumber Cahaya Arka

Kesalehan Sosial Bangsa Sekuler

Seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan sosial yang dihadapi bangsa ini, tersebutlah suatu konsep aneh yang disebut sebagai KESALEHAN SOSIAL. Istilah ini muncul di tengah masyarakat Indonesia sebagai klaim solusi atas berbagai problematika kontemporer dengan cara mengimplementasikan nilai-nilai Islam substansial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Nilai-nilai universal seperti kejujuran, kesopanan, dan sebagainya diharapkan mampu mengangkat bangsa ini dari keterpurukan jika diterapkan pada semua lini kehidupan.

Masalahnya adalah saleh menurut perspektif siapa yang dijadikan standar ?. Jika kemudian merujuk pada istilah arab shalih yang bisa dipadankan dengan kata “baik”, maka baik menurut versi siapa ?. Apakah kejujuran seorang individu dapat dikatakan sebagai kesalehan sementara pada saat yang sama ternyata individu tersebut meninggalkan seruan Allah dan Rasul-Nya ?. Mungkinkah terwujud suatu kesalehan yang memasyarakat, sementara negara sebagai salah satu subyek pelaksana syari’at menafikkan syari’at itu sendiri sebagai pengatur kehidupan masyarakatnya ?.

Tentu saja, sebagai muslim kita harus menggunakan standar Islam dalam menilai saleh tidaknya perbuatan kita. Orang saleh, tentu saja, adalah orang yang diridhoi Allah karena aktivitasnya yang selalu terikat pada hukum syara’. Oleh karena itu, mewujudkan kesalehan sosial dalam sistem kenegaraan sekuler hanyalah upaya sia-sia yang tidak akan betul-betul mampu memajukan dan memuliakan bangsa ini. Yang ada justru kesalehan sosial dengan penyebutan dalam bahasa betawi yang artinya KESALAHAN SOSIAL, seperti dalam ujaran “Umpame ade SALEH-SALEH kate, maapin aje ye !”.

sumber Catatan Revolusi

Kesalehan Sosial Yang Semu

Oleh Oman Fathurahman

Ramadan dan Idul Fitri memang membawa berkah, tidak saja karena pada kedua bulan ini setiap Muslim dapat berharap akan mendapat rahmat dan ampunan yang dijanjikan Tuhan, tapi juga karena kedua bulan suci ini sering menjadi momentum tahunan bagi orang berada untuk menyantuni kaum miskin dan papa. Ya, memang, agama sendiri mengajarkan agar umat Islam tidak hanya bisa menjadi saleh secara individu, tapi juga saleh secara sosial.

Selama bulan Ramadan lalu misalnya, sejumlah komponen masyarakat, termasuk ormas keagamaan dan partai politik, seolah berlomba menyantuni masyarakat miskin dengan menyediakan hidangan buka puasa dan membuka posko-posko mudik. Pada hari-hari menjelang lebaran, dana hasil pengumpulan zakat pun dibagikan kepada mereka yang hampir setiap harinya tidak pernah merasakan kenyangnya makan.

Lalu, memasuki hari Idul Fitri, berbagai seruan khatib di atas mimbar agar umat Islam menekankan kesalehan sosial melalui sumbangan zakat fitrah dan zakat mal, juga selalu kita dengar. Beberapa hari lalu, saya misalnya mendengar Kang Jalal berbicara di sebuah tayangan TV, dan menegaskan bahwa ajaran zakat dalam Islam benar-benar menekankan pentingnya seseorang menjadi saleh secara sosial, buktinya kita dianjurkan menyelesaikan kewajiban zakat dulu sebelum pergi menunaikan ibadah shalat Ied.

Kita pun menyaksikan para pejabat, atau mantan pejabat, yang menggelar open house di tempat tinggalnya masing-masing. Tidak seperti hari-hari biasanya, dalam kesempatan itu rakyat jelata pun dapat bertemu dan bersalaman dengan pemimpinnya, atau sekedar untuk mencicipi hidangan yang disediakan…Begitulah, “ritual” ini terjadi hampir setiap tahun.

Lalu, apakah bangsa ini menjadi semakin baik? Apakah kesalehan sosial seperti itu telah mampu menuntaskan kemiskinan, memberikan kesejahteraan bagi rakyat miskin, dan menjamin pendidikan anak-anak? Rasanya kok belum…kalau begitu, apa fungsi ajaran sosial dalam beragama?

Memang, sejumlah orang kelaparan kemudian mendapat berkah dan dapat menghemat uang belanjanya yang sebelumnya sangat pas-pasan...impian seorang papa untuk memiliki kursi roda pun mungkin kini telah terwujud setelah “silaturahmi“ dengan Presiden …orang-orang miskin di kampung juga kini pasti sedang bergembira karena kecipratan rezeki kerabat dan tetangganya yang mudik dari ibukota…tapi sampai kapan mereka akan menikmati semua itu? Bukankah “drama itu selalu berakhir hanya beberapa hari saja ketika Ramadan dan Idul Fitri berlalu? ketika para pemudik kembali ke “habitat“nya, dan ketika semua orang disibukkan kembali dengan rutinitasnya masing-masing?

Kapan Negara ini punya sistem yang baik untuk mensejahterakan rakyatnya? Apakah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan kesejahteraan masyarakat cukup ada dalam Pancasila dan Undang-undang “saja? atau mungkin betul kata kawan saya yang bilang bahwa dibanding Negara-negara maju sekalipun kita sebetulnya sudah punya sistem ketatanegaraan yang baik, punya budaya gotong royong dan tepo saliro, dan bahkan punya potensi alam yang sangat kaya. Masalah ketertinggalan, kemiskinan, dan kemelaratan rakyat kita lebih karena disebabkan pada kekeliruan dalam mengelolanya.

Melihat realitas bangsa ini dari jauh, dan apalagi membandingkannya dengan sebuah negara tempat saya tinggal sekarang, sungguh pilu rasanya hati ini.

Tanpa perlu slogan-logan agama untuk menyisihkan sebagian dari penghasilannya, masyarakat Jerman umumnya mengeluarkan hampir 48% dari penghasilannya untuk digunakan sebagai subsidi bagi rakyat lain yang nasibnya tidak lebih beruntung, atau sebagai subsidi untuk keperluan-keperluan sosial lainnya. Tanpa perlu pamer kesalehan sosial, banyak masyarakat Jerman yang sudah lebih duluan merealisasikan amanah ustaz-ustaz kita itu…dan berhasil membuat lapisan masyarakat lain sejahtera.

Melalui subsidi yang kemudian dikelola dengan baik oleh Negara tersebut, biaya pendidikan menjadi sangat murah, dan bahkan dalam jenjang tertentu gratis sama sekali. Kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan anak-anak pun menjadi sangat terjamin. Jerman memiliki apa yang disebut sebagai child benefit (Kindergeld), subsidi negara diberikan kepada setiap tiga anak pertama di bawah 18 tahun, sedangkan anak keempat, kelima, dan seterusnya mendapat subsidi yang lebih besar. Bahkan, bagi setiap balita di bawah 2 tahun, Negara Jerman juga memberikan apa yang disebut sebagai child-raising allowance (Erziehungsgeld), tanpa pandang bulu, apakah dia anak warga negara Jerman atau anak warga asing, selama dia tinggal di negara ini, dan memenuhi syarat-syarat administratif tertentu, dia akan mendapatkan hak-haknya sebagai seorang anak.

Dalam konteks kesejahteraan rakyat, bukankah gambaran salah satu model pengelolaan “aset negara“ seperti itu sangat ideal? Bukankah ajaran zakat dalam Islam juga dimaksudkan untuk tu’khadhu min agniyâ’ihim wa turaddu ilâ fuqarâ’ihim ..? (diambil dari orang kaya, lalu didistribusikan kepada kaum papa) Bukankah 90% masyarakat kita ini adalah muslim yang diwajibkan mengeluarkan zakat? Dan aset serta potensi alam kita pun sedemikian kaya? Lalu mengapa problem kemiskinan di kita tidak pernah tuntas? Alokasi dana pendidikan juga hanya bertambah di atas kertas saja?

Saya yakin, kemampuan Pemerintah Jerman untuk menerapkan subsidi serta mewujudkan kesejahteraan sosial seperti itu tidak ada hubungannya dengan agama yang dipeluk oleh masyarakatnya, bukan pula karena dasar negara dan undang-undangnya lebih lengkap dari negara kita, tapi lebih karena adanya komitmen bersama untuk mewujudkan aturan-aturan serta doktrin-doktrin yang telah dimiliki.

Dus, sudah saatnya kita berfikir untuk bisa mengejawantahkan ajaran agama tentang kesalehan sosial itu dalam bentuk-bentuk yang tidak lagi semu dan instan, sehingga tidak ada tudingan bahwa kesalehan sosial masyarakat kita selama ini lebih untuk kepentingan politis belaka, atau untuk mencari popularitas saja.

sumber Ucang Ucang Angge

Emha Ainun Nadjib: Gusti Allah tidak "ndeso" (kampungan)

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun :

"Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"

Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan." "Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya. "Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun."

Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi."

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.

Kata Tuhan:

Kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu.

Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu.

Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini.

Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.

Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.

Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak- injaknya.

Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan.

Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.

Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.

Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial.

Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya.

Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama.

Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas).

Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

Ekstrinsik Vs Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya.

Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka."

Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup.

Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain.

Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport.

Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.

Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya.

Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh kedalam .

sumber Doc's Page

Haji Minus Kesalehan Sosial

Oleh Nurul Huda Maarif*

Banyak yang bilang, umat Islam Indonesia lebih greget mengerjakan ibadah haji ketimbang berzakat. Padahal, secara hierarkis, perilaku berzakat seharusnya lebih diutamakan ketimbang berhaji.

Kesimpulan seperti di atas tidak sepenuhnya salah. Sebab, memang ibadah haji lebih menitikberatkan pada dimensi vertikal, antara al-Khaliq dengan al-makhluq saja, bukan dimensi sosial layaknya zakat. Jelas, zakat sangat bernuansa sosial karena kita langsung berinteraksi dengan masyarakat. Kita dapat membayangkan sebagian di antara kita yang punya program haji tiap tahun, misalnya. Haji dilakukan berkali-kali.

Tujuannya, apa lagi, kalau bukan untuk ibadah kepentingan pribadi. Tidak ada sejarahnya, berhaji untuk kepentingan masyarakat, misalnya supaya masyarakat menjadi makmur atau sejahtera. Bahkan, lebih jauh lagi, mereka hanya bertujuan mengoleksi titel sosial yang sama sekali tidak membantu memerangi dan mengentaskan kemiskinan yang menyedihkan di sekitar kita.

Dalam tradisi fikih, model ibadah dibedakan menjadi tiga kategori. Pertama, ibadah badaniyyah, yakni ibadah yang sepenuhnya mengandalkan aspek kekuatan badan, seperti salat dan puasa. Untuk melakukannya, kita hanya membutuhkan kekuatan fisik. Kita tidak perlu membayar upeti untuk melakukan keduanya.

Kedua, ibadah maliyah, yakni ibadah yang hanya dapat dilakukan dengan sarana uang, seperti zakat. Kita tidak memerlukan kekuatan fisik untuk melakukannya. Kita hanya membutuhkan harta (dan sebagian di antara kita yang mengerjakan haji berkali-kali pasti memiliki aspek ini).

Ketiga, ibadah maliyah-badaniyyah, yakni model ibadah yang hanya bisa dilakukan kala kita memiliki kekuatan fisik dan harta, seperti ibadah haji. Dalam Alquran disebutkan bahwa untuk menunaikan haji, disyaratkan adanya istithaah (kemampuan), yakni istithaah fisik dan harta. Tanpa adanya kesatuan antara kedua hal itu, mustahil kita dapat melaksanakannya.

Bila kita cermati tiga model ibadah di atas satu per satu, kita akan menemukan kesimpulan bahwa dimensi ibadah model pertama sangat bersifat individualistik. Yakni lebih menekankan hubungan antara Sang Khalik dan sang makhluk. Apalagi dalam kasus puasa. Firman Allah ini menunjukkan betapa sangat pribadi model ibadah tersebut.

Dimensi ibadah model kedua, zakat, jelas sekali bernuansa sosial. Sebab, dengan berzakat, berarti kita turut memikirkan dan mencoba mengentaskan kemiskinan atau minimal berbagi rasa dengan golongan wong alit.

Sementara itu, ibadah model ketiga, sebagaimana model pertama, juga lebih bersifat individualistik. Manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya. Orang lain tidak merasakan apa pun, kecuali nasi tumpeng, yang hakikatnya juga ditujukan hanya untuk kepentingan keselamatannya dalam menjalankan ibadah haji.

Nah, di antara tiga model ibadah di atas, manakah yang utama? Tentu ketiganya sama-sama utama. Hanya, bila kita berpikir menggunakan konsep skala prioritas, kita akan mengatakan bahwa ibadah yang berdimensi sosiallah yang paling utama. Itu tidak bisa dipungkiri.

Mengapa? Sebab, ibadah model itu, selain bernuansa horisontal, juga mengandung dimensi vertikal. Sebab, mustahil kita melakukannya tanpa dilandasi unsur keimanan kepada Tuhan. Sebaliknya, nuansa sosial sulit (atau bahkan tidak dapat) ditemukan pada model ibadah vertikal, seperti salat, puasa, maupun haji. Kalaupun ada, hal itu sebatas imbas saja, tidak terjadi secara langsung.

Dalam tradisi Ushul al-Fiqh dikatakan, al-muta’addy afdhal min al-qashir (ibadah yang manfaatnya dirasakan orang lain itu lebih utama ketimbang ibadah yang manfaatnya hanya dirasakan sendiri). Ibadah model ini hanya dapat kita rasakan melalui media zakat. Syukur-syukur, idealnya, kita dapat melakukan semuanya dengan seimbang.

Karena itu, kesalehan sosial (spiritual centrifugal) sudah seharusnya kita kedepankan ketimbang kesalehan individual (spiritual centripetal). Karena itu pula, Murtadla Muthahhari, pemikir muslim terkemuka asal Iran, pernah bertanya dalam nada menggugat, “Apakah rahib-rahib atau sufi-sufi yang hanya duduk-duduk di pojok masjid seraya memutar tasbih yang akan masuk surga, padahal hal itu dilakukan hanya untuk dirinya sendiri? Sementara Thomas Alfa Edison, si jenius penemu listrik, yang hasil temuannya dimanfaatkan orang sepanjang zaman, akan masuk neraka?”

Patut kita merenungkan secara mendalam gugatan Muthahhari tersebut. Pada prinsipnya, dia menggugat tradisi keagamaan yang hanya mementingkan aspek individual, tanpa pernah menyentuh aspek sosial.

Kita ingat, Nabi Musa AS pernah bertanya kepada Tuhan. “Di manakah aku dapat menemukan Engkau, ya Allah?” tanya Musa. “Temukan diriku dalam diri orang-orang yang papa,” jawab Allah. Dari situ jelas sekali bahwa kesadaran humanistis sangatlah penting dalam kehidupan kita.

Bila kita mengaitkan kenyataan di atas dengan perilaku keberagamaan kita, umat Islam Indonesia, kita patut bertanya, apa yaang terjadi dengan kita? Kenapa kita lebih mementingkan diri sendiri (individualisme) ketimbang orang lain (altruisme). Barangkali karena kita sudah sedemikian parah dininabobokan oleh simbol-simbol keagamaan yang sangat literalistik. Kita tidak pernah berpikir tentang esensi simbol-simbol itu.

Selain itu, tampaknya kita lebih senang dilihat oleh masyarakat dalam konteks strata sosial. Kita lebih bahagia dan bangga mantasarufkan harta kita untuk mengoleksi titel-titel sosial, seperti haji, ketimbang mengoleksi kebaikan-kebaikan sosial.

Padahal, dalam sejarah, Nabi SAW hanya berhaji sekali, lainnya semata umrah. Toh, memang yang wajib hanya sekali. Atau barangkali hal ini disebabkan minat traveling orang kaya Indonesia sedemikian tinggi sehingga kerap kita mendengar istilah wisata spiritual. Istilah yang mengasyikkan, tapi sebenarnya tidak lebih dari jalan-jalan semata.

Melihat kenyataan di atas, sudah saatnya mengubah perilaku keagamaan, dari perilaku individualisme menuju altruisme. Dari simbol ke esensi. Kita harus memulainya saat ini juga. Tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Ingat, masih banyak orang-orang kecil di sekeliling kita yang sangat membutuhkan uluran tangan. Mereka hanya membutuhkan bantuan, bukan Pak Haji yang tidak sudi membagi rizki.

*Penulis adalah editor the WAHID Institute

sumber Gusdur.Net